Ikhlas Bin Mukhlis
PEMUDAitu kurus, tinggi, dan agak pucat, dan kelihatan lemah
tapi baik hati dan sopan santun pada siapa pun, yang selama ini
menjadi imam masjid kami dan menjadi guru ngaji anak-anak di
kompleks perumahan kami itu, tiba-tiba lenyap bagai ditelan Bumi.
Tak seorang pun tahu ke mana ia pergi, tak sepatah kata pun pesan
ditinggalkan pada Rt, Rw, atau pengurus masjid yang selama ini
memberinya tumpangan tempat tinggal.
Memang ia bukan penumpang gratis. Sebaliknya, ia memberi kami
lebih banyak dari yang ia peroleh. Kecuali menjadi imam masjid dan
guru ngaji anak-anak, ia juga guru kami. Pemuda inilah yang mengajari
kami tahlilan, membaca doa, menyanyikan pujian, salawat, dan yasinan
dan ritus-ritus lain. Ia kami kagumi karena kesalehannya.
Kompleks perumahan kami dihuni kaum terpelajar, orang kota, modern,
maju, pegawai kantoran, punya status terhormat, dan makmur tapi tak satu
pun bisa membaca kitab suci Al Quran. Tak seorang pun, ibaratnya, bisa
membedakan huruf "alif" sebesar tugu Monas, dan "ba" selebar danau
Singkarak. Kalau ada yasinan, semua mencoba memegang kitab, dan
pura-pura membacanya, dan kalau orang sebelahnya membalik halaman
berikutnya, mereka pun mengikuti, sambil komat-kamit, seolah-olah bisa
membaca. Ada yang memakai pici, dan bahkan surban, seolah-olah ia kiai
beneran.
Hilangnya anak ini membuat kami mati kutu, dan tak bisa lagi berbuat
serba seolah-olah seperti tadi. Kami lalu sibuk mencari. Mustahil kalau
ia hilang beneran dan tak bisa ditemukan. Sebanyak itu penghuni,
mustahil tak bisa menemukannya. Dan memang mustahil, karena
tiba-tiba-ini yang membuat banyak pihak "shock", kaget, heran, tak habis
pikir-si pucat kurus yang baik hati dan saleh, dan diam-diam kami kagumi
itu ditemukan mabuk-mabukan dan ditangkap polisi bersama segerombolan
pemuda anggota "Pangunci": Paguyuban Ngunjuk Ciu, alias rombongan
peminum serius.
"Edan, ternyata kita tertipu," kata seseorang.
Kekecewaan pun menggumpal di hati seluruh penduduk kompleks itu.
Orang-orang yang cepat memuja, cepat memuji, cepat kagum, cepat
terpesona, di mana-mana, akhirnya menemui kegetiran dan ironi hidup:
mereka cepat pula kecewa.
"Salah kalian sendiri," pikir saya.
Suatu hari, ia kembali ke masjid tapi tak seorang pun menegurnya. Ia
juga tak lagi dijadikan imam, atau guru ngaji. Ia di-singkang-singkang
oleh mantan para pemujanya. Dan ia tampaknya tak gusar menghadapi
perubahan sikap ini. Ia-seperti dulu-tetap tenang. Bahkan ia masih
tenang-tenang ketika dilarang tinggal di kamar khusus yang dulu
disediakan untuknya. Maka, ia pun tidur di serambi seperti maaf, kere
tidur di emper toko.
Saya dekati ia dengan cara khusus. Saya bawa ia pada suatu malam, ketika
tak seorang pun tahu, ke rumah saya. Kami lalu dialog perkara hidup.
Hakikat dan inti ibadah ia paparkan. Ia mengajari saya tindakan ikhlas,
lahir batin, tanpa pamrih. Orang ikhlas, dalam bahasa dia, disebut
mukhlis.
"Saya ingin jadi mukhlis tapi gagal. Di sini orang memuji-muji saya, dan
diam-diam saya senang. Lama-lama, saya ngaji, shalat, berdoa, berzikir,
buat memperteguh citra bahwa saya saleh. Saya shalat bukan menyembah
Allah, tapi menyembah kesalehan saya, menyembah citra diri saya, dan
kepentingan saya. Dan ini bukan tindakan ikhlas. Saya bukan seorang
mukhlis. Saya takut pada Allah. Saya tinggalkan rumah-Nya. Saya
mabuk-mabukan, dan baru kemudian, di tengah caci maki orang banyak,
saya temukan kedamaian. Baru tadi saya shalat buat Allah,
menyembah Allah, dan bukan menyembah citra diri..."
"Edan," pikir saya. Setua ini belum pernah saya punya kesadaran macam
itu. Dan bocah ini memilikinya. Saya malu. Malu sekali pada diri
sendiri. Ia memberi saya banyak pelajaran. Ia memang guru. Guru sejati.
Dia guru kehidupan.[oleh2 Mohammad Sobary]
---------------------------------------------
Kekayaan itu bukanlah banyaknya harta benda
Kekayaan sebenarnya adalah ketenangan Jiwa
---------------------------------------------
Salam Bahagia:)
Nur Khabib
No comments:
Post a Comment