08 November 2006

Dialog Makrifatulloh

Dipandu oleh Ustadz M. Muhammad Rusli Malik

Sebelum membahas Ma’rifatullah, akan dibahas dulu
hubungan antara ma’rifatullah dan ma’rifatunnas. Dalam
pelajaran kita mengenai ma’rifatunnas, telah diketahui
bahwa inti dari manusia itu adalah akalnya. Yang jadi agen
pengganggu adalah hawa nafsunya, namun kita juga
memerlukan hawa, sehingga hawa ini tidak bisa dihilangkan.
Dan akal adalah satu-satunya instrumen yang bisa membawa
kita kepada Allah, mendekati Allah.

Yang dimaksud dengan mendekati Allah disini bukanlah dalam
pengertian fisik. Lalu bagaimana kita bisa menjadi dekat atau
menjadi jauh dari Allah? Ternyata dekat jauhnya kita dari Allah
tergantung kepada akal kita.

4. Cahaya Allah
3. CiptaanNya, yang memancar dari diriNya
2. Musyahadah, Akal tidak bisa lagi digunakan
1. Mujahadah, Akal digunakan

Allah adalah awal dan asal dari segala sesuatu di alam ini.
Allah menciptakan alam dan seisinya, serta menetapkan
hukum-hukum yang berlaku pada ciptaannya tersebut.
Dan sebagai Pencipta, tentu saja hukum-hukum tersebut
tidak berlaku bagi Allah. Misalnya, Allah menciptakan bumi,
dan menetapkan hukum gravitasi bagi bumi. Maka tentu
saja hukum gravitasi tersebut tidak berlaku bagiNya.

Empat perjalanan manusia
Ada empat perjalanan manusia, disebut Al-Asfar Al arbaah.
Al-asfar berasal dari kata safar, musafir, berjalan.
Al–arba’a berarti empat.

1. perjalanan dari manusia Ke Tuhan (Mujahadah)
2. perjalanan dari Tuhan dalamTuhan (Musyahadah)
3. perjalanan dari Tuhan ke manusia
4. perjalanan dari manusia ke manusia

Mujahadah
Mujahadah adalah perjalanan pertama manusia.
Mujahadah berasal dari kata jahada, jahidu, jihad,
artinya berjuang, memaksakan diri. Mujahadah adalah
perjalanan yang penuh perjuangan untuk mengenal Allah,
menyadari kehadiran Allah. Dalam usaha kita untuk
‘naik keatas’(tidak secara fisik lho ya), ada hawa yang akan
selalu menarik kita ‘kebawah’, sehingga Alqur’an menyatakan
“kemudian kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-
rendahnya” (QS. 95 : 5). Bila berhasil, kita akan sampai
ke ‘atas’, sampai pada musyahadah.

Musyahadah
Kalau kita sampai ‘keatas’, itu dinamakan Musyahadah,
berasal dari kata syahadah, syahid, menyaksikan. Inilah
perjalanan dimana seseorang sudah menyatu dengan Allah,
perjalanan dari Tuhan dalam Tuhan. Seperti Al-Hallajj,
sehingga ia berkata, “Annal Haq” (akulah kebenaran).
Namun walaupun seseorang itu telah menyatu dengan Allah,
dia harus menggunakan bahasa manusia ketika berkomunikasi
dengan manusia. Seperti bila kita sudah memahami ilmu
matematika yang mendalam, kita harus menggunakan
bahasa yang sederhana ketika mengajarkan berhitung
kepada anak kecil. Seperti juga Nabi, dia berbicara dengan
bahasa kaumnya, dia tidak berbicara berdasarkan
keindahan rasa yang dia alami bersama Tuhan.

Sari :
Apakah yang dimaksud disini, Allah berarti tidak terjun
langsung dalam proses mendekati manusia? Sehingga Ia
misalnya, kemudian mengirim jibril, mengutus
Nabi Muhammad?

Ust. Rusli :
Sebelumnya harus difahami dulu bahwa yang kita maksud
disini bukanlah dekat dalam pengertian ruang dan waktu.
Jangan membayangkan Allah itu duduk di suatu tempat
tertinggi dan kemudian kita bergerak mendekatiNya.
Bukan begitu. Tetapi mendekat disini bermakna dekat
dalam pikiran. Tuhan itu ada dimana-mana, tetapi bila
kita tidak menyadari kehadiranNya, Dia akan terasa jauh.
Sama seperti bila dua orang duduk berdekatan, namun
tidak saling mengenal, tidak saling menyapa,
maka akan terasa jauh.

Perjalanan dari Tuhan ke manusia
Setelah manusia mencapai tahap musyahadah, ia harus
mampu ‘turun’ lagi, jangan terjebak, berhenti di musyahadah,
hingga mengalami suatu egoisme spiritual, merasakan
kenikmatan bersama Tuhan untuk dirinya sendiri. Padahal
kenikmatan tertinggi sebenarnya adalah ketika apa yang
dicapainya di perjalanan musyahadah-nya itu, bisa dibawa ‘turun’,
dibagi dengan manusia lain. Sama seperti seseorang yang
merasakan nikmatnya suatu makanan, kenikmatannya
akan terasa lebih tinggi lagi, bila ia bisa membagi makanannya
tersebut dengan orang lain. Orang seperti Al-Hallaj, tidak
membagi apa yang diperolehnya di musayahadah-nya
dengan bahasa manusia, sehingga kemudian sulit untuk
diterima manusia lain, terkesan tidak masuk akal. Seperti
juga kisah Syeh Siti Jenar, yang mengatakan, “akulah Allah”,
sehingga ia dihukum.

Perjalanan dari manusia ke manusia
Inilah perjalanan keempat, perjalanan manusia untuk
menegakkan keadilan, yang merupakan tugas kekhalifahan,
tugas Para nabi, para alim ulama dan tugas seluruh manusia,
sebagaimana pada ayat Alqur’an yang sering disitir oleh
para khotib sholat Jumat, QS. An-Nahl (16) ayat 90 :
“Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil dan berbuat
kebaikan dan menolong keluarga yang dekat dam melarang
dari mengerjakan yang keji dan yang munkar dan kedhaliman.
Ia menasehati kamu, supaya kamu ingat.”

Doni :
Perjalanan yang empat ini, bisa terpisah-pisah
atau harus berurutan?

Ust. Rusli :
Ada yang langsung masuk ke perjalanan ke empat, misalnya
teman-teman kita di LSM yang memperjuangkan keadilan.
Namun resikonya, apa yang dilakukan menjadi tidak ada nilai
ilahiahnya dan bisa jadi bernilai pamrih. Ikhlas, tanpa pamrih,
hanya akan dapat dicapai bila kita telah melalui perjalanan
sebelumnya. Mengapa? Karena orang-orang yang telah
mengalami nikmatnya bermusyahadah dengan tuhan akan
tabah dalam menghadapi setiap tantangan dan kesulitan
yang ada ketika berhubungan dengan manusia. Kesulitan itu
tak berarti bila dibandingkan dengan kenikmatan yang
didapatkan bersama Tuhan. Ia akan melakukan semua
perintah Tuhan dengan kecintaan. Seperti para nabi yang
dihujat, diusir oleh kaumnya.

Rizal :
Apa kriteria bahwa seseorang itu sudah mengenal Tuhan?
Jangan sampai terjadi, seseorang merasa sudah mengenal
Tuhan, padahal ternyata ia salah. Perasaan yang bagaimana
yang muncul ketika seseorang benar-benar merasakan
kehadiran Tuhan? Bagaimana dengan seseorang yang
tidak punya pengetahuan banyak tentang Tuhan, tetapi ia
dapat merasakan Tuhan? Dan bagaimana menentukan
dimana batasan akal itu dapat atau tidak dapat lagi digunakan?

Ust. Rusli :
Akal kita gunakan untuk dapat mengetahui, kemudian
mengenal Tuhan. Tanpa pengetahuan tentang Tuhan,
kita bisa tertipu oleh perasaan-perasaan kita, pikiran-pikiran
kita. Dikatakan bahwa perjalanan menuju Tuhan itu memang
banyak perompak-perompak yang dapat membuat kita
salah jalan. Seperti Lia Aminuddin yang kemudian mengangkat
dirinya menjadi orang suci (nabi?). dan rasa mengenal Tuhan
itu memang tidak bisa digambarkan, tidak bisa diceritakan,
hanya akan dimengerti oleh mereka yang merasakannya.
Sebagaimana kita tidak dapat menerangkan dengan tepat
bagaimana rasanya teh botol ini. Kalau seseorang ingin tahu,
suruhlah ia meminum teh botol tersebut, daripada mencoba
untuk menceritakannya. Demikianlah pula dengan spiritualitas itu,
tidak bisa digambarkan. Kalaupun dicoba untuk menggambarkan,
akan menggunakan bahasa manusia, yang sarat dengan
perumpamaan.

Intan :
Kalau begitu, bisa jadi apa yang dilakukan oleh Lia Aminuddin itu
bukan karena dia ingin mencari harta atau pengikut atau hal-hal
keduniawian lainnya, melainkan karena memang dia
merasa benar, dia meyakini apa yang dia pikirkan dan rasakan,
dan kemudian menyampaikan kepada orang lain, padahal
dia tertipu oleh perasaannya sendiri.

Ust. Rusli :
Bisa jadi begitu. Makanya kita harus menggunakan akal kita
untuk mengenal Allah. Coba lihat QS 62:2 yang menyebutkan
tugas rasulullah, yaitu mengajarkan kepada kaumnya
ayat-ayatNya (bukan AlQur’an maksudnya, tapi tanda-tanda
kebesaran Allah), lalu membersihkan diri mereka,
baru kemudian mengajarkan kitab suci (AlQur’an), dan terakhir,
mengajarkan hikmah. Puncak dari perjalanan manusia
adalah memperoleh hikmah.

Rizal :
Kalau seseorang sudah melaksanakan perintah agama,
misalnya seperti melaksanakan sholat, berpuasa, membayar
zakat, Haji dll, sebagai salah satu cara untuk mngenal Tuhan,
apakah ia masih perlu mengenal Tuhan secara khusus?

Ust. Rusli :
Dalam AlQur’an tidak disebutkan bahwa pelaksanaan ibadah
yg tadi disebutkan adalah sarana untuk mengenal dirinya.
Tuhan mengenalkan diriNya melalui nama-namaNya.
Allah mengimplementasikan kehendakNya melalui alam
dan kitab (Alqur’an). Karena alam dan alkitab sama-sama
bersumber dari diriNya, maka keduanya tidak mungkin
bertentangan, terjadi cek dan ricek antara keduanya.
Maka ini merupakan salah satu cara untuk menguji
kebenaran kitab suci, atau juga untuk menguji kebenaran
teori ilmu pengetahuan. Nah, sekarang, kita mengenal Allah,
melalui tafakur (berpikir) dan tazakkur (berzikir).
Tafakur tentang alam, zikir melalui kitab, melalui asma Allah.
Jadi pada hakekatnya, sebenarnya setelah kita
mengenal Tuhan, barulah kita sholat
. Sholat adalah
kendaraan bagi kita untuk mi’raj kepada Allah. Ingatlah,
pada periode Mekkah (13 tahun) tidak ada perintah-perintah
mengenai fiqh, yang ada adalah mengenai iman, pengenalan
kepada Tuhan. Kita sekarang terbalik. Kita kenal pada fiqh dulu,
baru kemudian berusaha mengenal Allah.

Intan :
Well, jadi selama ini saya tidak mengenal Tuhan
yang saya sembah

Ust. Rusli :
Benar, kata orang arif, selama anda belum mengenal Tuhan
dengan benar, jangan-jangan yang Anda sembah adalah
Tuhan yang anda ciptakan dengan pikiran Anda sendiri
.
Seperti bila kita membayangkan Tuhan ada didepan kita
ketika sholat. Apa benar Tuhan ada didepan kita? Padahal
Dia tak terikat dengan ruang. Dia ada dimana-mana. Kita
diliputi oleh Allah, Allah ada didalam diri kita, kita tak dapat
melepaskan diri dariNya.

Doni :
Mungkin bisa kita umpamakan seperti ikan dalam air.
Dalam tubuh ikan ada air, dan ikan ada di dalam air, dan
ikan tak bisa lepas dari air.

Ust. Rusli :
Perumpamaan yang bagus sekali.

Sari :
Ust. Kadang saya sholat di dalam mobil, ketika jalan macet,
apa itu tidak apa-apa? karena saya khawatir kehabisan
waktu sholat, dan daripada tidak berbuat apa-apa di dalam
mobil. Ternyata setelah saya sholat, jalanan menjadi lancar.

Ust. Rusli :
Tidak apa-apa. Itu adalah ritual yang harus kita lakukan.
Walaupun bagi mereka yang sudah mencapai musyahadah,
itu adalah gerakan-gerakan ritual yang harus mereka
lakukan ‘hanya’ karena mereka harus berbicara dengan
manusia. Padahal pada hakekatnya, perasaan mereka kepada
Tuhan sama, baik didalam ritual sholat ataupun tidak.
Mereka ‘sholat’ setiap saat. Tetapi kita harus berhati-hati
juga dalam hal menghubung-hubungkan suatu ritual yang
dilakukan dengan yang kemudian terjadi. Misalnya :
jalanan menjadi lancar karena saya tadi sholat.

Jayanti :
Kalau misalnya saya punya keinginan, kemudian saya berdoa,
dan kemudian keinginan saya itu tercapai, dan saya berpikir,
“ternyata Tuhan itu dekat, Dia mendengarkan saya”,
apakah itu juga termasuk menghubung-hubungkan
seperti yang Ustadz maksud?

Ust. Rusli :
Mengapa hanya menyadari kehadiran Tuhan ketika doa
kita terkabul? Mengapa kita menunggu hal yang demikian
untuk dapat membuat kesimpulan bahwa Tuhan itu dekat?
Apakah itu berarti Tuhan itu jauh, sebelumnya? Nah, maksud
saya, sebenarnya Tuhan itu pada dasarnya dekat, baik doa
kita dikabulkan ataupun tidak. Bukankah Dia telah
menyediakan semunya untuk kita? Oksigen yang kita hirup
setiap saat, misalnya. Apakah para nabi yang dihujat, dilempar
batu, diusir oleh kaumnya itu kemudian bisa kita artikan bahwa
Tuhan jauh dari mereka? Tuhan tidak menolong mereka?
Tidak mengabulkan doa mereka? Kesimpulannya, Tuhan itu
dekat atau tidak, bukan karena doa kita dikabulkan atau tidak.

Jayanti :
Bagaimana dengan orang-orang yang kita anggap sangat dekat
dengan Tuhan karena ibadahnya? Bolehkah kita minta
didoakan olehnya?

Ust. Rusli :
Boleh saja minta didoakan kepada orang saleh. Tetapi hati-hati juga,
jangan sampai kemudian terjadi komersialisasi kemampuan berdoa.

Jayanti :
Atau misalnya, bagaimana dengan kita yang suka menitipkan
doa pada orang yang pergi haji, karena disana banyak tempat
yang mustajab untuk berdoa?

Ust. Rusli :
Kalau semua doa kita ketika naik haji itu dikabulkan,
seharusnya umat islam menjadi umat yang paling berhasil
di seluruh dunia. Nyatanya tidak. Pernah dengar cerita tentang
seorang pemuda yang ingin punya anak? Dia lalu minta nasehat
pada seorang kyai. Kyai menyarankan dia untuk sholat malam
dan berdoa, dia laksanakan selama bertahun-tahun hal demikian,
tapi belum punya anak juga. Lalu sang kyai menyarankan dia
untuk naik haji, karena disana banyak tempat yang mustajab
untuk berdoa, dia laksanakan, dan belum juga punya anak.
Pak kyai menyarankan dia untuk naik haji lagi, karena doa
memang harus diulang. Maka dia naik haji tiga kali berturut-turut
dalam tiga tahun, tapi belum juga punya anak. Akhirnya kyai
bertanya apakah pemuda itu sudah menikah atau belum, dan
ia menjawab belum. Nah, bagaimana mau punya anak kalau
belum menikah? Ini hanyalah contoh bahwa doa itu tak berarti
bila tidak disertai dengan ikhtiar, terutama doa yang berkaitan
dengan hal-hal materiil.

Intan :
Bagaimana fungsi doa sebenarnya? Bukankah ada juga orang
yang berhasil mencapai keinginannya dengan usaha saja,
walao tanpa berdoa?

Ust. Rusli:
Ini akan kita bahas dalam kajian kita selanjutnya.
Akan ada sesi khusus dalam ma’rifatullah tentang doa.
Tetapi baiklah, mari kita bahas sebentar. Doa itu sangat penting.
Bagaimana peran atau fungsinya, itu tergantung kepada apa yang
kita inginkan. Bila yang kita inginkan adalah kedekatan dengan
Tuhan, bermusyahadah, maka doa menjadi tulang punggung,
dan usaha menjadi kulitnya saja. Tetapi bila yang kita inginkan
adalah hal-hal materiil, seperti kesuksesan dalam belajar, karir,
maka usaha menjadi tulang punggung terkabulnya keinginan itu,
dan doa menjadi kulitnya.

Rizal :
Doa bisa memberikan efek psikologis yang positif.

Ust. Rusli :
Benar, doa bisa memberi motivasi. Seperti yang saya tulis
di buku ‘Puasa’ saya, ada beberapa fungsi doa. Yang pertama,
doa itu berfungsi sebagai mision statement. Misalnya kita berdoa,
“ya Allah, izinkanlah saya memiliki mobil”, maka jelas, keinginan
kita adalah memiliki mobil. Yang kedua, doa memberi motivasi.
Segala sesuatu yang disampaikan kepada pihak lain, itu akan
menambah motivasi. Yang ketiga, doa akan menjaga
konsistensi misi, doa yang disampaikan terus menerus akan
membuat keinginan menjadi ketetapan. Yang keempat,
doa menjadi backup. Maksudnya, bila kita berhasil, kita tidak
menjadi sombong (semua ini karena Allah), dan kita tidak
menjadi depresi bila gagal (ada yang lebih baik menurut
Allah buat saya). Dan saya yakin, doa tidak akan merubah
sesuatu secara ‘simsalabim’. Berapa banyak orang yang
berdoa untuk keselamatan kaum muslimin di palestina
dan lain-lain, tapi tidak terjadi apa-apa. Bukankah Allah
sudah mengatakan, bahwa Allah tidak akan mengubah
nasib suatu kaum bila kaum tersebut tidak mengubah
dirinya sendiri.

Doni :
Pernah dengar perumpamaan dari Aa Gym, usaha
itu ibarat menanam benih, dan doa ibarat memberi pupuk.
Tanaman dapat tumbuh tanpa pupuk, tapi tentu tidak maksimal.

Ust. Rusli :
Benar, bisa diumpamakan demikian.

Intan :
Bagaimana dengan sikap menyalahkan Tuhan bila apa yang
kita inginkan, yang kita usahakan tidak tercapai?


Ust. Rusli :
Itu tergantung pada cara pandang seseorang terhadap Tuhan.
Segala sesuatu kebaikan yang kita dapatkan di dunia ini berasal
dari Tuhan, karena yang kita gunakan untuk mencapainya
adalah milik Tuhan, misalnya, otak yang kita pakai ini. Tapi kalau
ada kejelekan, itu karena kita sendiri, karena kita yang kurang
tepat dalam memanfaatkan potensi yang sudah diberikan.

Semoga bermanfaat Amiin.

No comments: